Lahirnya Sumpah Pemuda didorong adanya keinginan
pemuda Indonesia masa itu untuk menciptakan persatuan. Pada tanggal 20 mei 1908
adalah tanggal berdirinya organisasi pertama di Indonesia yaitu Budi Utomo yang
didirikan oleh Dr. Sutomo mahasiswa STOVIA. Organisasi inilah yang menjadi awal
dari kebangkitan rekyat Indonesia.
Sekitar tahun 1908-1921 pergerakan yang dilakukan
oleh organisasi-organisasi masih bersifat kedaerahan dan belum menunjukan sifat
radikal terhadap pemerintahan Belanda. Memasuki tahun 1922 dinamika pergerakan
nasional mulai berubah ke arah radikal dan mulai dikenalnya nama Indonesia yang
dijadikan dalam nama organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia 1924.
Semangat atas rasa kesatuan sebagai satu bangsa dan
satu tanah air semakin membara sehingga akhirnya diadakanlah pertemuan dari
seluruh organisasi-organisasi dan menjadi satu. Persiapan Kongres Pemuda Pertama dilakukan pada 15 November
1925 di gedung Lux Orientis, Jakarta. Hadir lima organisasi pemuda dan beberapa
peserta perorangan. Organisasi itu Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon,
Pelajar Minahasa, dan Sekar Roekoen. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan
membentuk panitia Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Tujuan kongres tersebut,
"Menggugah semangat kerja sama di antara bermacam-macam organisasi pemuda
di tanah air kita, supaya dapat diwujudkan dasar pokok lahirnya persatuan
Indonesia, di tengah-tengah bangsa di dunia." Panitia kongres terdiri atas
10 orang, di antaranya Bahder Djohan, Sumarto, Jan Toule Soulehuwij, Paul
Pinontoan, dan Tabrani. Dari sini lantas dibentuk "panitia inti".
Ketua Tabrani, wakil ketua Sumarto, sekretaris Djamaludin (Adinegoro), dan
bendahara Suwarso.
Kongres Pemuda Pertama itu kemudian
digelar di Jakarta pada 30 April 1926 hingga 2 Mei 1926. Berbagai persoalan
dibahas dalam kongres ini. Bahder Djohan, misalnya, menyampaikan materi
"kedudukan wanita dalam masyarakat Indonesia". Tapi, lantaran
terlambat datang dari Bandung, "pidato" Bahder akhirnya dibacakan Djamaludin.
Adapun Paul Pinontoan membahas peranan agama dalam gerakan nasional. Dalam
kongres yang memakai bahasa Belanda itu dibicarakan pula soal bahasa persatuan.
Muhammad Yamin, yang membahas "masa depan bahasa-bahasa Indonesia dan
kesusastraannya", menyatakan hanya dua bahasa, Jawa dan Melayu, yang
berpeluang menjadi bahasa persatuan. Namun Yamin yakin bahasa Melayu yang akan
lebih berkembang sebagai bahasa persatuan. Djamaludin sependapat dengan Yamin. Menurut
Tabrani, sebagai ketua kongres, peserta kongres saat itu sepakat menetapkan
bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Namun Tabrani menentang. "Bukan
saya tidak menyetujui pidato Yamin. Jalan pikiran saya ialah tujuan bersama,
yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa," ujar Tabrani, seperti yang ia
tulis dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda. Menurut
Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia,
"Maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu,
walaupun unsur-unsurnya Melayu." Pendapat ini diterima Yamin dan
Djamaludin. Keputusan menetapkan bahasa persatuan itu pun ditunda dan akan
dikemukakan lagi dalam Kongres Pemuda Kedua.
Kongres Pemuda
Indonesia II pada 27-28 Oktober 1928. Kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi
dalam tiga kali rapat, yakni:
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan
Banteng). Dalam
sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat
memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan
dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan
dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan
Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java
Bioscoop, membahas
masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi
Mangoensarkoro,
berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada
keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik
secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain
gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa
dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik
anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup
diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf
Supratman yang
dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman.
Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres
ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir,
rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia yang terkenal dengan Sumpah Pemuda. Isinya adalah:
Pertama: Kami
putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia.
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang
satu, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Mahasiswa, Pemuda dan Kebangkitan
Tak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa selalu menjadi
sumber inspirasi, memiliki important role
dalam perjuangan penegakan kedaulatan rakyat di berbagai belahan dunia, tak
terkecuali di negeri ini. Daya gedor sang pencerah dari kampus terbukti mampu menebar
ketakutan bagi penguasa-penguasa otoriter di banyak negara. Mahasiswa sebagai
inisiator, inspirator sekaligus sebagai moral force pendobrak kezaliman dan keangkuhan para penguasa, jamak
mendapat respons besar rakyat.
Perjuangan heroik mahasiswa, didukung berbagai elemen pemuda, terpatri
dalam sejarah perjuangan bangsa dalam berbagai tahap dan periode, diawali permulaan
abad 20. Tahap demi tahap perjuangan mahasiswa dan pemuda memakan waktu yang
amat panjang dan lama, dilakukan tanpa pamrih apapun, kecuali hanya bertujuan
untuk memerdekakan bangsa dari belenggu kekuasaan penjajah asing, bahkan
penjajahan oleh bangsa sendiri yang kemaruk kekuasaan dan serakah terhadap
harta.
Terjadinya perubahan fundamental di banyak negara (otoriter) terbukti
diawali kekuatan pendobrak (mahasiswa) di back
up pemuda berbagai lapisan LSM/NGO. Rakyat dari berbagai tingkatan/elemen
akhirnya terpicu spirit-nya,
membersitkan sebuah people power maha
dahsyat, berujung pada runtuhnya rezim penguasa.
Episode
Subtil
Berbagai episode perjuangan
dilakukan secara subtil, halus dan
cerdik oleh mahasiswa, pemuda sebagai demolisher men. Pada 16 Oktober 1905,
para tokoh pemuda Islam dari berbagai daerah, H.O.S Cokroaminoto (Jawa), H.
Agus Salim (Minangkabau, Sumatra), A.M. Sangaji (Maluku) dlsb, mendirikan
Sarikat Islam, sebagai tonggak sejarah awal bangkitnya gerakan mahasiswa dan
pemuda Indonesia pada awal abad 20.
Eksistensi gerakan pemuda Islam dalam wadah Sarikat Islam mencerminkan
kebhinekaan unsur pemuda berasal dari berbagai daerah di tanah air. Tokoh
sekaliber H.O.S Cokroaminoto dan H. Agus Salim ternyata tampil dan selalu eksis
disetiap periode perjuangan sampai tercapainya kemerdekaan RI 1945. Haji Agus
Salim bahkan menggebrak dunia mengharumkan nama bangsa sejajar dengan Bung Karno,
Bung Hatta, Bung Syahrir.
Tiga tahun kemudian pada 20 Mei 1908, beberapa orang aktifis mahasiswa
STOVIA (Kedokteran), Soetomo, Cipto Mangoenkoesoemo, Wahidin Soediro Hoesodo,
dll, menyuarakan perjuangan pemuda Indonesia (kebanyakan berasal dari Jawa)
dengan mendirikan wadah Boedi Oetomo. 20 Mei selalu diperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional.
Setelah Perang Dunia I (sekitar tahun 1917) muncul berbagai organisasi
pemuda, Yong Sumateranen Bond, Yong Yava, Yong Ambon, Yong Celebes. Walau
organisasi pemuda ini bersifat kedaerahan namun pada hakekatnya bertujuan untuk
membebaskan Indonesia dari penjajahan kolonialis Belanda. Gerakan pemuda yang
bersifat kedaerahan ini, akhirnya menyatukan tekad bersama dalam satu wadah
Kongres Pemuda di Jakarta pada 28 Oktober 1928. Keinginan menyatukan tekad
mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka dimulai dari sini. Para pemuda seperti
Mr. Mohd. Yamin, Mr. Hoesni Thamrin CS menggagas persatuan bangsa dengan
trilogi: satu bangsa, bangsa Indonesia; satu tanah air, tanah air Indonesia;
satu bahasa, bahasa Indonesia. Trilogi kesatuan yang dihasilkan Kongres Pemuda
Indonesia 28 Oktober 1928 ini mampu memberikan fighting spirit menyala di dada
pemuda Indonesia seantero tanah air dan luar negeri.
Dr Moh Hatta bersama Mr Sartono, Nazir Pamuncak, Mr Iwa Koesoema
Soemantri CS mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda membuat wadah
Perhimpunan Indonesia. Bung Hatta memimpin P.I. ke Kongres Liga Anti Penjajahan
di Brussel 1927. Kegigihan Hatta menyuarakan kemerdekaan Indonesia di berbagai
forum di Eropa menyebabkan beliau di penjara pemerintah Belanda. Pidato
pembelaan Hatta dengan judul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) 1928 menyentak.
Tokoh-tokoh seperjuangan dari berbagai negara seperti Jawaharlal Nehru dari
India memuji beliau, disamping tokoh-tokoh idealis dari Belanda sendiri.
Di tanah air, Ir Soekarno, seorang mahasiswa tamatan sekolah teknologi
tinggi Technische Hogeschool (cakal bakal ITB sekarang) di Bandung karena
aktivitasnya di PNI yang didirikannya, selalu menyuarakan kebebasan rakyat
Indonesia, ditangkap Belanda, dipenjarakan di Banceuy Bandung (1930). Dengan
penuh semangat menggelora Soekarno melakukan pembelaan di Landraad Bandung
berjudul Indonesia Klaagt Aan (Indonesia Menggugat) pada 18 Agustus 1930. “Bahwasanya
matahari bukan terbit karena ayam jantan berkokok, tetapi ayam jantan berkokok
karena matahari terbit”, sepenggal cuplikan pidato Soekarno mengandung sindiran
tajam, menyakitkan kuping kolonialis Belanda, menyebabkan beliau dipenjara 4
tahun.
Episode
Pendobrak
Gerakan elemen mahasiswa dan pemuda Indonesia yang diawali pada 1905
berlanjut terus-menerus secara berkesinambungan, sampai tercapainya kemerdekaan
RI 17 Agustus 1945.
Perjuangan rakyat pasca kemerdekaan terus menggebu. Seorang pemuda
berbadan kecil dengan semangat menggebu menggoncang Surabaya menghadapi tentara
sekutu yang dibelakangnya diboncengi oleh tentara penjajah Belanda. Bung Tomo
sang pemuda kecil kerempeng, namun memiliki semangat baja pantang mundur
menghadapi Belanda. Arek-arek Suroboyo yang digawangi Bung Tomo dengan semangat
banteng ketaton bahu membahu menghadapi Belanda yang persenjataannya
lengkap. 10 November 1945 Surabaya jadi lautan darah anak-anak muda
bangsa.
Pascaproklamasi 45 dan NKRI 1950 negara kita masih harus berjuang dalam
mempertahankan kemerdekaan. Dan semangat pemuda terus membara. Sedangkan para
penguasa banyak yang melalaikan kekuasaaunnya.
Mahasiswa pun kembali terpicu, tersentak melihat penguasa ingin
melanggengkan kekuasaannya. Kemarahan dan kejengkelan mahasiswa mencapai titik
kulminasi tinggi, tambahan peristiwa penembakan 4 orang mahasiswa Trisakti,
Elang Lesmana CS pada 12 Mei 1998.
Anak bangsa ini takkan pernah melupakan perjuangan fenomenal penuh heroik
mahasiswa. Ribuan mahasiswa berdatangan dari berbagai Universitas di pulau Jawa
dan luar Jawa, menduduki gedung DPR-RI Senayan dengan segumpal tekad bulat,
penguasa/ tirani yang terlalu lama berkuasa harus turun!
Kejatuhan imperium Orde Lama dan Orde Baru sama tragisnya karena terlalu
lama berkuasa, melanggar konstitusi, serakah dan rakus terhadap kekuasaan dan
harta.
Sayangnya pemerintahan pascareformasi ternyata belum menghasilkan
apa-apa, ekonomi rakyat makin sulit. Koruptor berkembang makin brutal dan
fatal. Reshuffle kabinet memperberat Anggaran Negara sangat tidak solutif.
sagimun MD, Peranan Pemuda dari
Sumpah Pemuda sampai Proklamasi
Syaiful Harun, Harian Pagi Padang Ekspres